Oleh Dr. Faisal Saleh, M.HI.
(Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua)
“Ramadhan yang dirangkai dengan idul fitri biasanya membawa berkah ekonomi yang luar biasa …”
Suasana puasa tahun ini terasa berbeda dengan tahun sebelumnya. Bila tahun sebelumnya ada tarawih bersama di masjid dan mushallah, kali ini sudah tidak ada. Selama ini ada buka puasa bersama dengan aneka kue takjil, maka tahun ini sepertinya akan tidak ada. Selami ini ada kegiatan safari Ramadhan, namun tahun ini moment seperti ini mungkin kita tidak temui lagi. Bila yang lalu masih ada peringatan Nuzul Qur’an dan rangkaiannya seperti lomba semarak Ramadhan oleh remaja masjid, tahun kali ini peringatannya hanya cukup dilakukan dari rumah masing-masing, itupun kalau diperingati, hanya dengan model virtual yang terbatas, apalagi tidak semua warga mempunyai kuota data internet. Bila selama ini ada I’tikaf di masjid, maka kali ini sudah tidak ada dengan segala amaliyahnya, khususnya di sepuluh terakhir Ramadhan yang biasanya dirangkai dengan sahur bersama. Sepertinya ada rasa kesedihan, moment-moment semarak bulan Ramadhan yang biasa dilaksanakan, sepertinya akan absen pada tahun ini.
Demikian pula soal ekonomi sosial masyarakat, sudah pasti sangat berbeda dengan tahun sebelumnya. Ramadhan yang dirangkai dengan idul fitri biasanya membawa berkah ekonomi yang luar biasa, namun tahun ini nampaknya akan mengalami penurunan omset. Semua terdampak atas wabah virus corona ini, yang tidak mengenal level strata sosial seseorang, mulai dari kelas atas sampai dengan menengah-bawah. Bagi kalangan atas dan menengah, mungkin yang dikeluhkan omset akan menurun drastis, namun masih ada simpanan yang dapat menjadi pertahanan hidup ke depan, sementara bagi kalangan bawah, mereka dihantui dengan keadaan yang tidak pasti apakah masih ada hari esok untuk bertahan hidup, sebab jangankan simpanan modal, untuk biaya hidup harianpun mereka sudah sangat susah, apalagi mereka yang telah kehilangan pekerjaan. Roda ekonomi menjadi surut dan konsekuensinya bisa melahirkan permasalahan sosial lainnya. Di sinilah letak peran pemerintah dalam mengendalikan keadaan ekonomi-sosial rakyatnya, sambil rakyatpun harus ikut dan taat dengan segala aturan protocol kesehatan yang telah ditetapkan dalam upaya memerangi wabah virus corona.
Tentu kembali kepada kita semua, bahwa kondisi ini harus dihadapi secara bijak bagaimanapun keadaannya, karena memang hidup manusia tidak lepas dari masalah dengan tingkat keruwetannya masing-masing. Ibarat hidup ini pilihan dari berbagai masalah. Selama kehidupan ini berlangsung, maka permasalahan itu pula selalu menyertainya. Tinggal bagaimana manusia meresponnya dengan nalar dan hati yang dimilikinya untuk keluar dari zona permasalahan tersebut, sebab hidup tidak selamanya selalu stagnan, manusia punya naluri untuk selalu beradaptasi dengan keadaan sekitarnya. Rasa optimisme kita dilatari dengan paham teologi bahwa, Tuhan telah menakar semua kemampuan manusia dengan apa yang dibebankan padanya, ingat ayat “la yukalliful allahu nafsan illa wusa’aha” (Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya) (Q.S. al-Baqarah: 286) Namun, bila keadaan seseorang tidak terkendali dalam merespon cobaan ini dapat menyebabkan ia menjadi depresi.
Apa itu depresi dan bagaimana hubungannya dengan Puasa? Depresi adalah kondisi emosional yang tidak menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran, dan juga ditandai dengan aktifnya system saraf pusat. Lazarus (Trismiati, 2004). Dengan kata lain adanya wabah seperti saat ini dapat membuat gangguan kondisi emosional seseorang seperti menjadi cemas dan khawatir yang berlebihan, merasa bersalah, putus asa, rendah diri, suasana hatinya selalu buruk dan sedih, dan mungkin mudah marah dan sensitif. Ada yang mengatakan depresi sebenarnya adalah reaksi normal saja bila ada sesuatu peristiwa-peristiwa yang dianggap sangat menusuk suasana hati, namun bila terus berlanjut dan membuat kita terpuruk dapat mengakibatkan efek yang kurang baik bagi fisik dan psikis, atau munculnya berbagai macam penyakit yang menghadang.
Puasa Ramadhan saat ini, di kala wabah masih terus menerpa kita, ternyata dapat menekan rasa depresi seseorang. Orang yang berpuasa yang diawali dengan niat (nawaitu) yang ikhlas menjadi penghulu pengendalian kerja otak manusia. Puasa akan melatihnya menjadi orang yang sabar, dengan kesabaran membuat seseorang akan merasa dekat dengan Allah SWT dan mengajarkan akan menahan hawa nafsu. Orang yang berpuasa dengan baik akan selalu terangsang dengan pikiran positif yang mengarahkan ucapan, perbuatan yang baik. Bukan pikiran negatif yang akan membebaninya dan dapat lebih memperburuk keadaannya batinnya. Puasa juga mengajarkan untuk menahan amarah dan tidak mudah tersinggung karena sifat tersebut dapat membuat seseorang menjadikan keadaan jiwanya tidak mudah terkontrol dan mudah menjadi resah dan gelisah. Kata para ulama, “al ghodabu awwalu jununun wa akhiruhu nadamun” (kemarahan awalnya kegilaan dan kesudahannya adalah penyesalan). Puasa dapat menyeimbangkan kerja hormon dalam tubuh sehingga emosi terkendali dengan baik. Intinya puasa membuat fungsi hormon berjalan dengan normal, dan kondisi tubuh akan berjalan dengan seimbang. Puasa menyembuhkan depresi. Nabi SAW bersabda bahwa puasa menjadi obat penawar segala macam penyakit, “shuumu Tashihuu” (Puasalah kalian, pasti akan sehat) (H.R. Ahmad).
(*)Sentani, Jayapura, 27 April 2020