Oleh: Dr. Muhammad Anang Firdaus, M.Fil.I (Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Fattahul Muluk Papua)
Menjelang datangnya bulan Ramadhan, dunia masih berjuang melawan covid-19 yang belum ditemukan obatnya. Lebih dari 200 negara di dunia telah terpapar covid-19, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dirilis pada Selasa, 21 April 2020, total jumlah kasus positif corona di Indonesia saat ini sebanyak 7.135 pasien. Sedangkan per tanggal 17 April 2020, warga positif covid-19 di Papua berjumlah 80 orang, jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) meningkat menjadi 100 orang, sementara Orang Dalam Pemantauan (ODP) berjumlah 3.545 orang, sedangkan Orang Tanpa Gejala (OTG) diprediksi lebih banyak lagi.
Pemerintah telah melakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyebaran virus ini. Masyarakat dihimbau untuk membatasi diri beraktivitas di keramaian seperti tempat makan, gedung olah raga, bahkan di tempat ibadah, menerapkan social distancing yakni tidak melakukan kontak langsung seperti berjabattangan atau salaman dengan orang lain, yang kemudian istilah ini diganti dengan physical distancing oleh pemerintah. Kebijakan karantina wilayah, hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang telah berlaku di beberapa wilayah merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran lebih luas virus ini. Masyarakat dihimbau untuk bekerja, belajar dan beribadah di rumah.
Sejatinya, kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kultur dan tradisi orang Indonesia. Manusia merupakan makhluk yang butuh berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Aturan Physical Distancing melarang untuk berjabat tangan atau bersalaman dengan teman atau orang lain bisa jadi terasa janggal. Salaman telah menjadi tradisi manusia sejak ribuan tahun lalu. Salaman merupakan ekspresi keakraban antar manusia. Menurut Walter Burkert, sejarawan Jerman, salaman awalnya diniatkan menyampaikan niat damai karena orang lain mengetahui bahwa ia tidak bersenjata, artinya ia tidak berniat jahat. Bagi bangsa Romawi, salaman adalah simbol kesetiaan, persahabatan dan kepercayaan. Symbol ini dapat dilacak dalam koin uang Romawi kuno. Demikian juga dalam kazanah Islam, salaman merupakan perbuatan yang disunnahkan. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya membuat satu bab tersendiri tentang salaman yang diberi judul ‘Bab Mushafahah’. Salah satu hadis dalam bab ini; “Qatadah r.a. berkata; saya bertanya kepada Anas bin Malik r.a.; apakah sejak zaman Rasulullah jabat tangan dilakukan? Dan Anas menjawab; ya” (HR. Bukhari). Menilik kondisi saat ini bukan berarti kita menyalahi kodrat manusia atau tidak menjalankan sunnah nabi dan memaksa kita untuk saling menjaga jarak. Namun sebagai umat yang beriman kita yakin dan percaya bahwa secara lahiriah kita tidak berdekatan dan berjabat tangan tetapi hati kita tulus dan ikhlas ‘bersalaman’ dengan orang lain, bahkan boleh jadi lebih khidmat dari salaman secara fisik. Inilah yang saya sebut ‘Jauh Di Mata Dekat Di Hati’.
Aturan yang mempersempit ruang gerak masyarakat guna memutus penyebaran virus ini, juga berdampak ‘paceklik’ pada sebagian kalangan masyarakat seperti pekerja harian, mingguan atau sektor swasta. Dibutuhkan kecakapan untuk mengatur dan mengatasi kebutuhan sehari-hari. Namun hal ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya dibutuhkan uluran tangan dari orang yang lebih berkecukupan. Pemerintah dan berbagai elemen masyarakat menyeru untuk membantu yang lebih membutuhkan. MUI dalam edaran tausiyah menyambut ramadhan dalam situasi covid 19, menghimbau umat untuk membantu fakir-miskin dan dhu’afa (terutama di daerah sekitar ia tinggal), melalui penyaluran zakat, infak, dan shadaqah, dan menyegerakan pembayan zakat mal apabila telah mencapai nishab dapat dibayarkan lebih cepat tanpa menunggu genap satu tahun (hawalanil haul). MUI juga mengajak umat untuk meningkatkan solidaritas dan saling membantu antar sesama manusia, khususnya di antara tetangga di suatu kawasan, baik dalam hal menjaga kesehatan bersama dan memitigasi penyebaran covid-19, saling menjaga ketertiban dan keamanan, serta saling menanggung dan membantu kebutuhan (at-takaful wat-ta’awun).
Fenomena covid 19 ini, nyatanya mampu menggugah masyarakat lebih berempati terhadap saudaranya yang kesusahan. Semua orang merasakan dampak kesulitan, kesusahan, kekhawatiran dari wabah cavid 19 meski kadarnya tentu berbeda. Faktanya, banyak orang ingin membantu orang lain dalam kondisi yang justru sulit untuk bertemu dan berinteraksi dengan orang yang akan dibantu. Boleh jadi hal ini akan lebih meningkatkan value ibadahnya, tidak menimbulkan kesombonngan bagi yang memberi dan beban pada orang yang diberi. Memberi dan menerima dengan lapang dada, tulus dan ikhlas atas nama kemanusiaan tanpa memandang ras, suku dan agama (qaddim al- insaniyyah ‘ala al-diniyyah) . Inilah yang saya sebut ‘Jauh Di Mata Dekat Di Hati’.
Wallahu a’lam. (*) Jayapura, 22 April 2020