Oleh Ningrat Handayani Fadhilah
(Mahasiswi Program Study Hukum Tata Negara IAIN Fattahul Muluk Papua)
Persebaran Corona Virus Disease 2019 atau Covid-19 yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, Cina pada Desember 2019, ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO (World Health Organization). Tidak berhenti sampai di Wuhan, Covid-19 juga sampai di Indonesia. Persebaran Covid-19 ini menurut hemat penulis adalah strategi politik. Sejak awal munculnya Covid-19, penulis meragukan pandemi ini murni sebatas penyebaran virus. Entah karena penulis doyan akan pembahasan perpolitikan atau karena memang penulis terlalu ‘su’uzon’ pada Corona. Kondisi tersebut, sering penulis tuangkan dalam beberapa postingan di sosial media, hanya sebatas tulisan penghantar tidur semata. Penulis meragukan Covid-19 ini sebatas penyebaran virus karena kemunculannya di Wuhan, proses penyebarannya di negara-negara yang cukup berpengaruh, hingga racikan vaksin yang digalakkan. Pertanyaan sederhana, why Wuhan yang menjadi lokasi terdeteksi pertama Covid-19? Dan why gencar sekali penyebarannya di negara-negara ‘musuh dan penghamba’ sang adikuasa. Dan why vaksin yang menjadi solusi untuk memperlambat penyebaran virus Corona? Tapi, penulis tidak akan membahas lebih lanjut perihal pertanyaan ‘ngelantur’ itu. Karena hal itu bukan menjadi tupoksi bagi penulis. Dan fokus penulis disini adalah mengajak para pembaca untuk membahas lebih lanjut mengenai Budaya dan Covid-19.
Apa kaitannya budaya dan Covid-19?
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita memahami terlebih dahulu mengenai pengertian budaya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai pikiran atau akal budi, adat istiadat, dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Budaya termasuk dalam kelas nomina atau kata benda. Kata benda dibedakan menjadi dua, yakni kata benda konkret untuk benda yang dapat dikenal dengan panca indra (misal, meja) dan kata benda abstrak yang menyatakan hal yang hanya dapat dikenal dengan pikiran. Dan budaya sendiri termasuk kata benda abstrak yang sewaktu-waktu dapat berubah tapi membutuhkan waktu yang cukup lama.
Hadirnya Covid-19 di Indonesia pada khususnya merubah tiap lini kehidupan. Mulai dari aspek pendidikan, politik, sosial kemasyarakatan, ekonomi hingga ekosistem dan masih banyak lagi. Perubahan itu dirasa sejak berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah dalam penanganan Covid-19, diantaranya meningkatkan Siaga Darurat Kesehatan wilayah, penerapan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bahkan di beberapa daerah melakukan lockdown. Upaya-upaya tersebut digencarkan oleh pemerintah dengan harapan menuai manifest. Namun, menurut penulis, upaya-upaya itu justru menimbulkan latent bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Banyak manifest dari Covid-19, dan sebagian sudah dikaji oleh berbagai kalangan dengan variatif perspektif, mulai dari Corona sebagai ujian, implementasi teori sabar dan tawakkal dan takdir Tuhan. Penulis menyimpulkan beberapa manifest yang dapat dirasakan dari kemunculan Covid-19 ini, diantaranya peningkatan kesadaran masyarakat, corona sebagai guncangan akal dan nurani manusia, pengembangan kreatifitas, penggalakan zakat, wakaf dan sodaqoh sebagai strategi kesejahteraan bangsa, kesempatan seluas-luasnya untuk merebut simpati pendukung, peningkatan eksistensi bendera ataupun individu, hingga peningkatan literasi media bagi masyarakat dan masih banyak lagi. Selayaknya mata uang, sebuah kebijakan tentu memiliki dua akibat yang diterima yakni manifest dan juga latent. Begitu pun dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut juga terselip latent atau akibat yang tersembunyi dan tidak diharapkan sama sekali. Penulis menyebut latent disini adalah budaya instan. Tidak ada yang mengetahui sampai kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Begitu pun penulis, sama sekali tidak mengetahui atau bahkan tidak punya gambaran ke depan atas berakhirnya Corona ini. Namun, tetap menggunakan ajaran para guru untuk tetap berharap kepada-Nya untuk kebaikan ke depannya.
Upaya-upaya pemerintah yang penulis sebut sebagai kebijakan di atas menuntut setiap lapisan masyarakat untuk melakukan setiap aktivitas (yang biasa dilakukan dengan banyak model itu) dipersempit, yakni dilakukan secara instan, di rumah aja. Berbagai aktivitas yang dilakukan di rumah saja dengan tenggang waktu yang belum diketahui sampai kapan, dengan kata lain lama, tentu akan mengubah pola hidup masyarakat sehingga menimbulkan kebiasan-kebiasaan baru dan menjadi budaya baru bagi masyarakat Indonesia. Contoh sederhana adalah sistem daring yang akan mengurangi budaya interaksi aktif pelajar atau mahasiswa dengan sesama pelajar atau mahasiswa dan atau terhadap pengajarnya. Hal ini bahkan bisa sampai menimbulkan konsekuensi atau akibat tidak terduga dan tidak diantisipasi sebelumnya, yakni membuat pelajar atau mahasiswa menjadi pasif atau bahkan ‘kebodohan’, dan tentu ini bertentangan dengan tujuan pembelajaran di Indonesia yang berupaya keras membuat para pelajar dan mahasiswa berperan aktif dalam proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dengan orientasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kehadiran Covid-19 di Indonesia sebagai penghapus mata rantai budaya buruk masyarakatnya, tentu menjadi harapan banyak orang. Dan apabila kehadiran Corona ini juga menghapus good culture masyarakat Indonesia, maka setiap masyarakat secara kolaboratif harus menghalang dan membentuk strategi antisipatif untuk ke depannya. Minimal dengan tetap menjaga iman, imun dan kesadaran. (*)