Oleh: Ade Yamin *)
“Abi, besok sudah sekolah kah?”, tanya Arim dengan mata mengerjap penuh harap disuatu malam beberapa hari yang lalu kepada saya. Ya si Arim, anak ke 3 saya itu memang paling cerewet, usianya baru menjelang 7 tahun, tetapi sangat aktif bertanya tentang banyak hal. “Belum Arim, masih libur, belajar dirumah dengan Ummi saja ya,” jawab saya. Arim melengos pergi, nampak dengan jelas ketidakpuasan terpancar dari sorot mata dan mimik wajah yang ia tunjukkan. Sambil jalan ia bergumam, “Kalau begitu nanti bulan depan baru saya kerja Pekerjaan Rumah ee…”. Belum sempat saya menimpali, ia berbalik dan bertanya lagi, “Abii nanti bagaimana rasanya masuk sekolah lagi kah?”. Saya cukup gagap untuk menjawab pertanyaan Arim ini, dengan ragu saya katakan, “Ya seperti biasa Arim….”. Mendengar jawaban saya, ia berjalan meninggalkan meja kerja sambil berkata, “Ooooo begitu ya abi….seperti biasa.”
Pertanyaan Arim soal bagaimana rasanya jika kembali ke sekolah nanti merupakan pertanyaan sepele yang membuka pandora imajinasi saya, iya ya, bagaimana rasanya setelah pandemic ini berlalu? Apakah akan kembali seperti sebelumnya aktifitas kita, ataukah ada tatanan baru, metode baru, pola baru dan berbagai hal baru yang nampaknya akan makin membuat saya tergagap gagap, yang entah bagaimana nantinya, siap ataupun tidak siap harus saya lakoni.
‘Ah Arim.. tak usah risau tentang hari esok itu anakku, kita tidak tahu apakah kita sampai pada hari yang engkau tanyakan itu… sebab Tuhan sedang menguji kita dengan musibah sakit yang dengan akal dan kecerdasan manusia sebagai mahluk paling mulia dimuka bumi pun belum berhasil menemukan penyembuhnya sampai hari ini.’
‘Tapi Sabar dulu, jangan ikut pikiran bapakmu yang peismis ini. Engkau harus optimis Arim, yakinlah, hari esok itu pasti lebih cerah dari hari ini, jika engkau siap. Jangan seperti bapakmu ini yang tergagap oleh benturan nilai dan norma baru. Generasi bapakmu ini secara nyata tak cukup siap menghadapi benturan kebiasaan, kami terlalu terbiasa dengan kenyamanan kerja dikantor, punya kursi empuk disertai computer tipe terbaru diatas meja yang dilengkapi pula fasilitas wifi gratis, sehingga Ketika harus bekerja dari rumah saja, rasanya seperti terpenjara, meskipun saya yakin banyak diantara generasi bapakmu ini tak pernah benar-benar paham bagaimana rasanya orang hidup dalam penjara yang berjejalan itu’.
‘Arim..Bapakmu ini menderita lahir bathin, tidak ada lagi kursi empuk, karena itu bapakmu harus menggunakan bantal untuk duduk agar bokong bapakmu ini tidak makin tepos, tidak ada juga wifi gratis, terpaksa uang sayur dan ikan ibumu yang harus dikorbankan untuk beli pulsa data telkomsel yang larinya menyedot data melebihi kecepatan Buroq yang dikendarai Jibril untuk menjumpai kekasih Allah, Yang Mulia Baginda Rasulullah Muhammad saw…., karenanya, bapakmu ini harus meminta dan memelas agar dikasih kemudahan oleh kantor, padahal kalo dipikir pikir inilah akibatnya kalau bapakmu ini terlalu nyaman berada dalam suasana yang enak dengan fasilitas yang telah tersedia, sehingga terlena.’
‘Ah sudahlah Arim…bapak tidak akan memintamu mendengar keluh kesah ini, tapi arim.. bersiaplah nak, tradisi baru sedang disiapkan untuk generasimu, tradisi global yang akan menghempaskan tradisi lokal dalam masyarakat, proses penyatuan dan penyeragaman kebiasaan sedang berproses untukmu. Untuk itu, agar engkau tak tergilas, siapkanlah diri sebaik baiknya, era nafsi-nafsi sedang menghampirimu anakku, waspadalah.. Bapakmu inipun tak bisa memberimu kepastian, bagaimana rasanya hari esok.’
Buper Waena, Kota Jayapura, 14/04/2020
*) Dr. Ade Yamin, MA. Dosen IAIN Fattahul Muluk Papua.