OLEH: FAISAL SALEH *)
Setelah sekian hari pemberlakuan himbauan untuk beribadah di rumah bersama dengan keluarga atas merebaknya wabah Virus Corona yang dipermaklumkan oleh MUI Papua tanggal 25 Maret 2020, telah ditindaklajuti oleh beberapa DKM atau Takmir Masjid. Namun respon jamaah atas himbauan tersebut masih terlihat ada beberapa dari mereka merasa kurang puas, kurang pas dan mantap sehingga mereka dengan segala dalih dan semangat keagamaan dalam dirinya tetap datang ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. misalnya ada yang mengatakan, “rasanya tidak pas kalau tetap sholat di rumah”, “sudah sekian lama sholat di masjid maka rasanya tidak mantap kalau di rumah” “pahalanya tidak sama kalau dimasjid” dan alasan lainnya. Bahkan ada DKM yang seakan tidak mau menghiraukan himbauan tersebut sampai didapati pada hari Jum’at, tanggal 27, Maret, 3 dan
10 April 2020 masih saja tetap melaksanakan Jumatan, padahal jelas-jelas Satgas Covid-19
Provinsi Papua mengatakan Wilayah Kota dan Kabupaten Jayapura berada pada zona merah. Ada apa gerangan dengan jamaah kita sehingga tidak mau mengikuti fatwa ulamanya, mungkinkah karena semangat atau gairah keagamaannya berlebihan sehingga semua pandangan dan dalil yang diutarakan oleh ulamanya dianggap tidak mendasar dan berbekas di hati ?
Sejenak respon jamaah tersebut dengan semangat mereka untuk tetap melaksanakan ibadah di masjid di tengah pandemic wabah corona, mengingatkan sekilas perilaku suatu komunitas yang pernah terjadi masa lalu saat bersama Rasulullah SAW, dengan semangat keagamaan yang tinggi yang diyakininya berazam akan melaksanakan ibadah secara terus menerus tanpa henti karena menilai sepihak ibadah yang dilakukan oleh Nabi masih kurang maksimal, kadarnya masih sedikit setelah menanyakan hal ihwalnya kepada isteri-isteri Rasulullah SAW, padahal kita meyakini bersama bahwa Nabi adalah orang yang maksum, diampuni segala kesalahannya baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Tiga orang dari komunitas tersebut kemudian digambarkan bagaimana mereka berikrar agar ideal ibadahnya sama seperti ibadah Nabi yang dipahami dengan keliru, karena terlampau semangat, melebihi semangat 45. Mereka ada yang mengatakan “Aku shalat sepanjang malam penuh,” ada yang mengaku, “Aku berpuasa sepanjang tahun, tidak ada bolongnya,” dan lainnya mengatakan, “kalau aku menghindari wanita dengan tidak menikah selamanya”. Singkat cerita, sontak setelah didengar oleh Rasulullah, Nabi pun kemudian menasehati mereka dengan mengatakan , “hai kalian, perlu aku jelaskan bahwa aku ini adalah orang yang paling takut kepada Allah jika dibandingkan dengan kalian, aku juga orang yang paling taat kepada Allah. Namun demikian aku juga berpuasa dan kadang tidak, aku juga melaksanakan ibadah, shalat malam, namun tetap ada waktu untuk tidur (istirahat), aku juga menikahi wanita” (HR Bukhari Muslim. Lihat Muhammad bin ismail al Bukhari, Shahih Bukhari, Daru Thuqin Najah, 1422 H, Juz 7 hlm. 2)
Sekedar membandingkan semangat beribadah masa lalu tersebut di atas dengan praktek semangat keagamaan jamaah yang tetap datang ke masjid di tengah wabah corona setelah penyampaian dari otoritas yang berwenang mengatakan sangat riskan penyebaran virus di tempat perkumpulan banyak orang termasuk di masjid. Semangat keagamaan ini dapat saja dipengaruhi oleh keyakinan yang sudah terpatri dalam diri bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin sesungguhnya tiada lain hanya untuk beribadah. Baik ibadah mahdah (khusus) maupun ibadah umum. Tentu hal ini tidaklah salah adanya, semangat dan atau rasa beragama itu penting dalam menjaga konsistensi (istoqomah) diri dalam melakukan pendekatan spiritual kepada Allah SWT. Apalagi disaat-saat kondisi seperti ini, namun perlu juga kiranya semangat beribadah dibarengi dengan ilmu yang memadai dalam konteks seperti apa dan bagaimana agar kita beragama tidak dengan hanya dominasi gairah atau rasa keagamaan semata, tetapi perlu dibarengi dengan wawasan dan pengetahuan dengan cara “ngaji” kepada orang alim baik langsung maupun dengan lewat media yang sudah banyak dan relatif sangat canggih.
Perlu penulis pertegas tentang apa yang sudah disampikan oleh para alim tentang dasar adanya pergantian shalat jumat ke shalat dhuhur dan shalat berjamaah di rumah bersama keluarga karena adanya udzur yaitu wabah yang mengkhawatirkan (al khauf), berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Melakukan ibadah di musim corona yang telah dijelaskan argmentasi syar’inya mestinya tidak membuat jamaah seperti merasa tidak puas, dan kurang mantap karena telah ada penjelasan yang rinci yang tidak menyebabkan pahala ibadah yang selama ini dilakukan hilang begitu saja saat dilakukan di rumah, seperti shalat berjamaah di masjid selama ini. Artinya telah cukup alasan atau dalil bahwa penyampaian tersebut tidak mengakibatkan amalan menjadi sia-sia bahkan seakan tidak maqbul di sisi Allah SWT. Karena jelas sekali terangnya ilmu yang mendasari amalan ibadah tersebut, tidakkah kita membaca hadis Nabi dalam kitab Shahihnya, Imam Bukhari mengatakan : “ Ilmu itu merupakan pintu ucapan dan perbuatan” (Shahih al-Bukhari, Kitab: al-Ilmu, bab al ilmu qabla al qoul wa al amal), ilmunya yang menjelaskan bila terjadi wabah corona ada penjelasan seperti apa tata cara beribadah yang boleh dilakukan oleh jamaah. Sebabnya dikatakan ilmu adalah syarat sahnya ucapan dan perbuatan, “ucapan dan ibadahmu dinilai dengan ilmumu”. “Ilmu mensahkan niat dan niat yang mensahkan amal” (lihat Umdatul al-Qori, syarah shahih Bukhari, al-Hafifidz al-Aini, jilid 2, hlm. 476).
Dalam beragama ilmu yang dimaksud adalah dalil, baik dari al qur’an maupun dari hadis Nabi, yang diperjelas oleh para ulama. Artinya setiap orang yang beramal dan dia tahu dalilnya maka boleh dikatakan orang tersebut beramal atas dasar ilmu dan sebaliknya beramal namun tidak disertai dalil belum dapat dikatakan beramal atas dasar ilmu. Bagi orang awam sendiri yang tidak paham dalil, maka kewajibannya adalah mendengar keterangan ulama yang dalam konteks wabah corona adalah apa yang difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), sangat terang dan jelas ayatnya “bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kalian tidak mengetahui” (Q.S. Al-Anbiya: 7).
Oleh karena itu, bagian akhir dari tulisan singkat ini penulis kembali ingin mengatakan bahwa muslim yang baik dalam menghambakan diri kepada Ma’bud-Nya adalah selalu menjaga agar keseimbangan semangat keagamaan dan keilmuannya senantiasa beriringan sehingga tidak seperti orang yang berlebih-lebihan dalam agama (guluwu fi al diin). Semangat harus disertai dengan ilmu agar tidak salah arah, dan ilmu mestinya dibarengi dengan semangat agar senantiasa tegak dalam pengamalannya. Inilah tugas para agamawan dan akademisi di bidangnya untuk terus mengawal kedua hal tersebut. Wallahu ‘alam bil shawab. (*)
*) Dr. Faisal Saleh, M.HI, Dosen Fakultas Syariah IAIN Fattahul Muluk Papua dan Sekum MUI Papua. Pasar Lama Sentani, Jayapura, 11 April 2020