Oleh Dr. Muhammad Anang Firdaus, M.Fil.I.
(Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Fattahul Muluk Papua)
“Setiap kali ramadhan berlalu, sikap dan perilaku kita kembali seperti biasa …“
Genap satu minggu puasa Ramadan. Ketika pandemik Covid-19 menyebar ke seantero nusantara, perlawanan untuk memutus rantai penyebarannya dilakukan secara massif dengan berbagai cara. Social distancing, physical distancing, stay at home, work from home, isolasi wilayah hingga PSBB. Bahkan umat rela tidak shalat Jumat dan shalat jamaah di masjid. Semuanya dilakukan dengan harapan corona virus cepat hilang dari muka bumi. Nyatanya, hingga hari ini, kita terus berjuang melawan virus ini.
Genap satu minggu puasa Ramadan. Menjelang datangnya Ramadan, sebagian kita gelisah dan was-was menjalani ibadah Ramadan di tengah wabah Covid-19. Sebagian orang menggambarkan Ramadhan bulan penuh kebahagiaan dan keberkahan dalam interaksi komunal dengan tarawih di masjid, ta’jil bersama keluarga, jamaah, tetangga, teman dan handai taulan, serta maraknya pengajian di masjid-masjid. Apa jadinya menjalani ramadhan tanpa nuansa kultural semarak syiar seperti itu, janggal rasanya.
Genap satu minggu puasa ramadhan. Ternyata sebagian orang kurang ‘pede’ menjalani ramadhan saat pendemi Covid-19 dengan bekerja, belajar dan beribadah di rumah. Bagaimana shalat jamaah dan jadi imam tarawih di rumah, segala bentuk ibadah dilakukan di rumah. Apakah mampu melakukannya dengan baik bersama keluarga di rumah, kalaupun mampu apa bisa khidmat seperti di masjid. Banyak lagi hal yang menjadi tanda tanya yang seolah menjadi ‘beban’.
Sejatinya, ramadhan di tengah Covid-19 memberi berkah yang lain. Hampir sepanjang hari di rumah membuka peluang bagi setiap muslim merasakan nuansa beragama yang berbeda. Meninggalkan ritual komunal atau ibadah dalam keramaian dan kerumunan akan mewujudkan nuansa yang lebih khusyuk, senyap, tulus dan ikhlas. Menghabiskan waktu di rumah memberi kesempatan menjalin relasi antar keluarga yang kurang harmonis selama ini karena kesibukan masing-masing. Kesempatan banyak berada di rumah, juga kesempatan memberi banyak perhatian pada keluarga dan banyak ruang untuk saling membantu dan menguatkan. Ini tentu akan membawa dampak yang berbeda dibanding ramadhan di tahun-tahun sebelumnya dengan keramaian dan kerumunan hingar bingar syiar ramadhan.
Jujur harus diakui, keramaian dan kerumunan ritual beragama pada ramadhan di negeri ini belum sepenuhnya mampu menjadikan kita benar-benar bertakwa sebagai tujuan perintah ibadah puasa. Nilai agama yang tersirat dalam pesan puasa belum terwujud dalam keberagamaan kita. Setiap kali ramadhan berlalu, sikap dan perilaku kita kembali seperti biasa. Ramadhan di masa Covid-19 ini, mengajak kita lebih merasakan efek ibadah dan meresapi maknanya dalam kesendirian, lebih meditatif dan berkualitas, jauh dari keramaian, kerumunan, kebisingan pengeras suara. Mengutip pesan dosen saya, W. Halim, laku dalam kesunyian lebih menuntut kedalaman, ketenangan dan kesejatian, sedang aksi kerumunan lebih identik dengan kedangkalan, ketergesaan dan juga kemunafikan.
Semoga badai cepat berlalu.
Wallahu A’lam. (*)