Oleh: Prof. Dr. H. IDRUS ALHAMID, M.Si – PAPUA
Dentuman suara meregang setiap jiwa dalam khayalan buaian cita-cita “Kaum Ali baba” sedang membawa lampu pelita, menegaskan makna dalam alam realita yang mereka heran hidup dalam “PANORAMA NEGERI BANYAK SENGKETA”. Jika perkembangan global saat ini mampu menata ruang hingga pelosok desa, namun tidak kita sadari bahwa masyarakat komunal berada dalam kultur yang mengetengahkan sumber daya hayati sebagai kapital kehidupan “orisinal konten” yang berbeda dengan Eropa maupun Amerika serta Asia Timur jauh yang miskin akan sumber daya alam.
Dalam pada itu, paradigma pembangunan mengedepankan “aspek kemanusiaan” dalam upaya adaptasi rekonstruksi budaya sebagai bagian dari fakta bahwa nusantara negeri yang berbeda. Masyarakat yang mendiami jajaran pulau terbentang luas dalam khatulistiwa telah berkomitmen untuk menjaga “tanah pusaka Indonesia raya”. Jika ini tidak kita sadari maka gerakan rakyat semesta pasti mereduksi ruang “kapitalis naga genit” si lintah merah dalam panorama negeri banyak sengketa.
Obyek prahara sengketa, menata ruang dalam himpitan ekonomi banyak cerita rakyat jelata. Jika kita renungi syair lagu Koes Plus, “bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupi mu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu, orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, lirik lagu tersebut menggambarkan fakta bahwa saat ini banyak sengketa karena laut bukan lagi kolam susu, melainkan kolam renang kaum kapitalis naga genit sehingga badai dan topan tak dapat dihindari, yang pada akibatnya ikan dan udang tidak lagi menghampiri kita. Apakah “kail dan jala” yang kita gunakan tidak berbanding lurus dengan realita kaum penjarah, ataukah ada upaya pemiskinan yang terjadi dimana-mana. Waspadalah terhadap “panorama negeri banyak sengketa” dalam “prahara jiwa” karena janji manis sang tebar pesona saat berburu rente menyakitkan jiwa.
Saudara-saudaraku,
Tulisan tersebut di atas adalah ekspresi akademik terhadap “kaum tebal muka”. Kita telah berkomitmen bahwa ekonomi Pancasila adalah upaya menjadikan inlander {bc. warga pribumi} menjadi tuan di negeri sendiri, artinya kita wajib menjaga jangan sampai ada potensi sengketa karena buruk sangka, waspada new-konsep kaum penjajah.
By: Si hitam manis pelipur lara di timur nusantara, mari kira renungi bersama.