Oleh: Dr.Faisal Saleh,S.Ag., M.HI, Ketua Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Program Pascasarjana IAIN Fattahul Muluk Papua
Tahun 2020 kali ini,ada dua momentum yang sangat penting bagi umat Islam Indonesia yaitu, HUT RI yang 75 tahun dan akhir tahun Baru Islam 1441 H menuju tahun 1442 H. Menyebut umat Islam Indonesia, karena bangsa Indonesia yang mayoritas muslim tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan berdirinya negara ini. Tanpa maksud menafikan golongan lain, tetapi semua orang di negeri ini harusnya memahami bahwa Islam dan Indonesia seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Singkat kata, “Indonesia adalah Islam dan Islam adalah Indonesia”. Seperti klaim yang berlebihan, tetapi sesungguhnya hal ini bagian dari refleksi rasa kebanggaan dan syukur atas rasa keindonesiaan dan keberislaman yang telah melekat pada diri umat Islam Indonesia dan mengakhiri perdebatan yang selama ini masih sering muncul mempersoalkan hubungan antara Islam dan negara.
Rasa syukur dan bangga atas anugrah kemerdekaan dan keberislaman seyogyanya disertai dengan muhasabah (introspeksi diri). Tujuh puluh lima tahun kemerdekaan Indonesia sejak diproklamirkan pada tahun 1945 tahun yang lalu ibarat umur manusia yang sangat matang dengan aneka pengalaman hidup. Namun pertanyaannya benarkah kita semua sudah merdeka dan merasakan kue kemerdekaan yang telah dicita-citakan oleh para founding father kita ? tentu dengan rasa syukur atas proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut dengan segala kekayaan alam yang melimpah ruah, bahkan kekayaan alam yang ada mungkin tidak dimiliki oleh negara lain, namun apakah warganya telah ikut dalam serta dalam mengelola sumber daya yang ada atau “Tuan di Negeri Sendiri” ? apakah umat Islam telah mendapatkan keadilan proporsional dari kue pembangunan selama ini ?
Tahun 2015 yang lalu, pada Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta sebenarnya telah dipaparkan bahwa Umat Islam Indonesia, meskipun mayoritas di negeri ini tetapi realitasnya masih minoritas dalam peran baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Pada aspek politik, secara sederhana dapat dilihat dalam realitasnya sejauh mana peran-peran politik umat Islam untuk kemaslahatan bangsa dan negara. Dan para politisi muslim sejauh mana keberislaman mereka berpihak kepada out put kebijakan yang “Islami” tanpa harus berbenturan dengan keragaman dan di sinilah peran penting politisi muslim dari mana pun asal dan latar belakang partainya. Dari sisi peran ekonomi, umat Islam belum memperlihatkan peran signifikan di negeri ini, bahkan kelihatannya jauh dari percaturan strategis ekonomi Indonesia, sebab dari hulu kehilir telah dikuasai oleh asing dan aseng, bahkan ada gejala mereka bergandengan tangan dengan para oligarki di pemerintahan. Sehingga kebijakan-kebijakan khususnya terkait dengan kepentingan pemerataan ekonomi masyarakat menjadi terhalang sebab pemain ekonomi tersebut mempengaruhi elit penguasa.
Sementara dari aspek sosial budaya, mari kita lihat bagaimana pendidikan di negeri ini dan yang melingkupinya, seperti SDM tenaga pendidiknya, infratstrukturnya, dan lainnya. Semua yang terkait dengan persoalan sekitarnya umat Islam menjadi bagian objek terbesar dari masalah tersebut yang harusnya mereka telah dapat menikmati hasil kemerdekaan dengan Pendidikan yang layak dan saatnya pula mereka berkontribusi maksimal terhadap negerinya. Tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka mestinya pemerataan pendidikan di semua wilayah negeri ini telah dirasakan oleh semua anak negeri. Janganlah masalah SDM Indonesia seperti berada dalam lingkaran setan. Berkutat pada kemiskinan karena soal SDM yang rendah.
Akhirnya, tanggal 17 Agustus 2020 dan tahun baru 1442 H besok untuk kita muhasabah diri sebagai seorang muslim Indonesia,marilah kita perbaiki niat (motivasi) agar tetap secara konsisten menjalankan kewajiban agama dan negara atau sebaliknya; umat Islam dengan ajaran dan doktrin yang dimiliki untuk tetap selalu optimis bahwa keimanan dan keberislaman yang kuat tidaklah cukup dengan perkataan tetapi harusnya disertai dengan etos yang kuat untuk keluar dari segala ketertinggalan, keterbelakangan. Umat Islam hendaknya berniat untuk meninggalkan perkara-perkara yang tidak perlu atau tidak bermanfaat, untuk meraih kejayaan negeri. Marilah menjadi orang Islam Indonesia yang bermanfaat. Nabi bersabda “ tanda-tanda baiknya keberislaman seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Selamat HUT RI 75 Tahun.
[1]Dr.Faisal Saleh,S.Ag.,M.HI, Ketua Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Program Pascasarjana IAIN Fattahul Muluk Papua