Oleh: Prof. Dr. H. Idrus Alhamid, S.Ag, M.Si
CENDEKIA POROS INTIM-PAPUA
Saat ini kebanyakan medsos menyoroti pernyataan yang dikemukakan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas soal azan. Jika diperhatikan dari isi pernyataan tidak terkandung maksud melarang adanya toa di rumah ibadah, hal ini harus dipahami bahwa setiap warga negara berkewajiban menjaga kelangsungan ekosistem kehidupan sosial keagamaan. Bangsa Indonesia dikenal sangat ramah dalam menjaga kelangsungan hidup beragama.
Persoalan toa sebagai media menyampaikan pesan, akan jadi solusi jika diataur keberadaan dan pemanfaatan-nya sehingga setiap warga negara terlatih untuk saling menjaga keharmonisan antar sesama. Menteri Agama dalam hal ini berupaya menjaga kelangsungan ekosestem kehidupan sosial keagamaan melalui SE yang mengatur penggunaan alat pengeras suara {toa}. Sikap yang diambil oleh menteri agama sebagai bahagian dari upaya “ulil amri” untuk memastikan tidak terjadi polemik pada daerah yang sangat majemuk di nusantara.
Kewajiban setiap warga negara untuk menjaga kelangsungan ekosestem kehidupan sosial keagamaan merupakan pengejewantahan dari sikap kebhinnekaan yang dicanangkan oleh leluhur pendiri NKRI. Dalam pada itu nilai “hubbul wathan minal iman” atau cinta tanah air sebagian dari iman dapat diwujudkan dengan menjaga dan memelihara nilai-nilai universal { tepo seliro} sebagai bahagian dari kearifan lokal yang tidak dimiliki oleh bangsa lain. Sikap inilah yang dimunculkan oleh seorang negarawan yakni Menteri Agama RI {Yaqut Cholil Qaumas} saat ini.
Sebagai bahagian dari apa yang diamanahkan dalam UUD 1945, negara hadir melalui Kementerian Agama untuk mengatur kelangsungan ekosestem kehidupan sosial keagamaan, yang saat ini dirasakan sedang berada dalam ragam teologi sebagai bagian interpretasi ushuliyah. Artiny jika dilacak dari berbagai literasi, dahulu Bilal azan tanpa toa, sehingga volume suara dapat diatur jangkauannya. Diksi kalimat yang dikemukakan oleh Menteri Agama tidak terkandung kalimat untuk membandingkan suara azan dengan lainnya.
Kami percaya selaku gus/anak kiyai pasti paham nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Jadi sangat keliru jika ada pandangan yang menginterpretasi kalimat tanpa memahami alur pikir setiap orang. Untuk itu mari kita bersama menjaga kelangsungan ekosestem kehidupan sosial keagamaan merupakan tanggungjawab semua elemen bangsa Indonesia Raya. Sehingga harapan pendiri bangsa selalu terjaga dan dipelihara kelangsungan budaya berbasis kearifan lokal. (*)