Oleh:
Dr. H. Marwan Sileuw, S. Ag., M. Pd
(Rektor IAIN Fattahul Muluk Papua)
23 Januari 2025
Beribu abad perjalanan Isra Mi’raj yang dilakukan Nabi sallallahu alaihi wasallam. Namun demikian, Isra Mi’raj menjadi perhatian khusus bagi umat Islam di seluruh dunia. Utamanya umat Islam di Indonesia dan lebih khusus adalah umat Islam di Jayapura Papua. Artinya bahwa menjadi perhatian khusus umat Islam Jayapura Papua karena menjadi momentum untuk memaknai makna perjalanan tersebut dan menjadikan as self reflection. Karena itu, umat Islam akan melakukan kegiatan kajian-kajian sebagai sikap perhatian dan as self reflection dalam kehidupan.
Peristiwa ini diabadikan Allah Subhanahu wata’ala dalam Q.S Al-Isra ayat 1 sebagai berikut:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Terjemahnya:
Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya425) agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Ada hal penting yang mesti dihayati dari perjalanan Isra Mi’raj Nabi sallallahu alaihi wasallam ini. Dimana dipahami bahwa mayoritas para ulama menyimpulkan bahwa Isra Mi’raj dilakukan Nabi sallallahu alaihi wasallam dengan jasmani dan rohani. Tidak dilakukan semata jasmani dan juga tidak dilakukan semata rohani.
Isra Mi’raj dilakukan dengan bermodalkan jasmani dan rohani, maka buah dari Isra Mi’raj berupa salat. Secara harfiah, salat dimaknai dari berbagai makna yakni; ibadah, doa, syukur, zikir, dan pujian. Secara istilah sebelumnya diungkapkan para ahli dalam memberikan ta’rifnya sehingga menjadi rujukan dalam menyimpulkannya.
Para Empat Mazhab menta’rifkan bahwa salat adalah segala perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat yang ditentukan.[1] Menurut H. Sulaiman Rasjid memaknai salat adalah ialah berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, secara yang mendatangkan takut kepadaNya serta menumbuhkan didalam jiwa rasa kebesaranNya atau mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan pekerjaan atau kedua-duanya.[2] Syekh Muhammad bin Qasim al-Gharabili menta’rifkan salat.
ال أقوالٌ وأفعال مُفتَتحَةٌ بالتكبير، مختتمةٌ بالتسليم بشَرائطَ محصوص
Artinya:
“Salat adalah angkaian ucapan dan perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam, serta syarat-syarat yang telah ditentukan.”[3]
Memperhatikan ta’rif salat dari para ahli tersebut di atas dapat diberikan benang merah bahwa salat sebagai ibadah yang pelaknaannya dimulai dengan takbir (Allahu Akbar) disertai gerakan-gerakan, doa atau bacaan tertentu dengan hadirnya hati, pikiran dan perasaan dalam setiap tahapan dan diakhiri dengan salam (assalaamu alikum warahmatullah).
Mengingat salat menjadi buah dari perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi sallallahu alaihi wasallam yang ditetapkan sebagai ibadah fardu bagi umat manusia (Islam). Ini as self reflection bagi setiap diri kita secara utuh. Dimana adanya perpaduan jasmani dan rohani dalam pelaksanaannya.
Artinya bahwa hakikat dari Ibadah salat yang diperoleh dengan perjuangan jasmani dan rohani, maka salat harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan jasmani dan rohani setiap diri manusia. Lebih tegas dimaknai bahwa makna jasmani dan rohani bukan atas dasar orang yang sehat lalu kemudian salat. Sebaliknya bukan juga karena orang yang rohani semisal tidak sakit jantungan, atau tidak setres dan sebagainya lalu kemudian salat. Bukan makna persyaratan jasmani dan rohani yang dimaksud. Yang dimaksudkan adalah salat dilakukan dengan mendasari jasmani yang bersih dan suci dan kemudian rohani yang murni ikhlas bukan karena paksaan, tetapi benar-benar keikhlasan yang terpancar dari kesadaran diri kita.
Sehingga salat yang dilakukan adalah perpaduan antara jasmani dan rohani dalam mengabdi kepada Sang Khalik. Oleh karena itu, salat tetap ditegakkan dalam situasi dan keadaan apapu. Baik sakit ringan, sedang bahkan beratpun, dalam situasi aman, tidak nyaman, gentingpun bahkan perangpun salat tidak dapat terlewatkan dalam pelaksanaan bagi kita.
Mari kita perhatikan aktivitas salat yang menunjukkan bahwa adanya perpaduan antara jasmani dan rohani dalam menjalankannya sebagai berikut:
- Wudhu. Dilakukan tidak hanya gerakan semata dari jasmani atau anggota tubuh tetapi disertai dengan rohaninya. Yakni membaca bismillah memulai, berniat wudhu, ada doa yang diiringan dari satu perbuatan Wudhu ke perbuatan Wudhu lainnya, dan kemudian diakhiri dengan doa sesudah Wudhu.
- Salat. Dimulai dengan gerakan berdiri betul menghadap kiblat, mengangkat tangan sejajar telinga atau sejajar bahu sebagian jasmani salat dan berniat, bertakbir, membaca doa Iftitah, membaca Alfatihah di samping kehadiran hati, pikiran dan perasaan dalam maknanya merupakan rohaninya salat. Jika ini menjadi perpaduan abadi dalam salat, maka itulah hakikatnya Isra Mi’raj as self refelection pada diri kita masing-masing. Sehingga demikian salat yang dilakukan berdampak positif bagi diri kita. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman;
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ
Terjemahnya:
dan tegakkanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.
Dengan ayat ini, mendasari kita bahwa dengan salat yang benar adalah as self reflection dalam menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan, saling menghargai, saling menjaga keutuhan kebersamaan, saling mengingatkan, saling membantu dan menolongnya dalam kehidupan. Kalau demikian, maka kehidupan ini selalu dibuahi keindahan. (*)
*Taburkan kebaikan kapan dan di mana pun kita berada, walaupun hanya sekejap dalam pikiran, ucapan dan perbuatan kita*
[1] Abduar-Rohmān al-Jaziri, al-Fiqh, ala al-Mażāhib al-Arba‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar alKutubal Ilmiyah, 1990). hlm. 175
[2]H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,(Sinar Baru Algensindo), hal. 53
[3]Syekh Muhammad bin Qasim al-Gharabili, Kitab Fathul Qarib (Surabaya:Harisma, 2005) hal.11.