Sosial Budaya

JAYAPURA-JAKARTA-CIREBON-KUNINGAN

Catatan Etnografis KKN Moderasi dan Harapan Tentang PTKIN

Oleh

Ade Yamin, Fifin Iba dan Wandaruni Iha

Catatan Awal

“Berapa orang yang akan ikut dari Papua pak ketua”, begitu kira kira notifikasi pesan yang saya terima dilayar ponsel saya, dan terdeteksi pengirim adalah seorang kolega yang menjabat sebagai Kepala Pusat pengabdian pada Masyarakat LPPM UIN SGJ Bandung sekitar sebulan menjelang pelaksanaan KKN moderasi di kecamatan Cigugur kabupaten Kuningan Jawa Barat. Tak teringat lagi apa jawaban yang saya berikan waktu itu, namun ada rasa enggan yang terbersit dalam benak, untuk mengikutkan mahasiswa pada kegiatan tersebut. Sebagai penangungjawab LPPM IAIN FM Papua, selain membutuhkan biaya yang besar, rasanya masih banyak beban dan prioritas lain yang harus dikerjakan yang berkaitan erat dengan tugas pengabdian di Tanah Papua, selain sekedar yang penting ikut pada kegiatan nasional itu. Sebagai salah seorang yang memiliki kewajiban memajukan kampus, minimnya jumlah mahasiswa yang mendaftar masuk ke IAIN Papua tentu sangat merisaukan, ditambah lagi eksodus sporadic para dosen yang merupakan sumberdaya utama kampus yang entah karena alasan apa, dengan sangat sistematis merapuhkan tiang tiang penyangga kokohnya keberadaan kampus.

Meskipun demikian, nampaknya sami’na wato’na harus tetap menjadi pedoman penting untuk dikerjakan bagi setiap warga negara yang memutuskan untuk mengabdi pada institusi dengan semboyan Ikhlas beramal itu, sehingga dengan berbagai pertimbangan ekstra cepat dan syarat sederhana, LPPM memutuskan mengikutkan 2 mahasiswa mewakili kampus dengan kriteria utama, mahasiswa tersebut haruslah orang asli papua (OAP) dan wajib membuat catatan kecil tentang moderasi yang mereka ketahui.

Pendek cerita, LPPM kemudian memilih WandaruniIha, mahasiswi tarbiyah prodi matematika yang jika hanya membaca Namanya saja bagi yang mengerti Papua, pasti akan paham bahwa “Iha” merupakan satu klan besar yang ada di Kokas, Fak-fak Papua Barat, yang jika mengikuti cerita Wandaruni diatas kereta dalam perjalanan kami dari Jakarta menuju Cirebon, untuk mengikuti kegiatan, bahwa ia telah menghabiskan masa kecilnya di Kokas, satu distrik di kabupaten fak fak yang terletak di tepian teluk Berau, namun karena satu dan lain alasan, orangtuanya kemudian bermigrasi ke kota Jayapura, dan menetap di Distrik Muara Tami, Koya Barat.

Masih tentang Wandaruni, jika memperhatikan wajahnya, maka dipastikan kebanyakan orang akan mengatakan bahwa ia bukanlah Orang Asli Papua, sudah cantik, putih pula. Sungguh suatu pandangan sarkas yang selalu menempatkan orang Papua pada posisi inferior, atau disisi yang “liyan” seakan jika ada orang Papua, cantik, putih, manis, gagah, wangi itu adalah sebuah keajaiban belaka. Namun jauh lebih menarik dari pandangan superior diatas, pengakuan Wandaruni sungguh mengagetkan saya. “bapak saya itu aslinya Samalo, tapi karena ketemu mama maka bapak masuk Islam dan menggunakan fam Iha dari nenek, yang marganya ada saya pakai ini”, sungguh suatu kebetulan yang tak terduga sama sekali, mahasiswa yang kami pilih ternyata memang telah mewakili nilai pluralis yang menjadi salah satu tujuan utama KKN moderasi.

Mahasiswi berikut yang ditunjuk sebagai peserta, mewakili kampus adalah Fifin Iba, mahasiswi Prodi Hukum Tata negara Fakultas Syariah yang dari perawakan dan tampilan wajahnya tentu tak diragukan lagi, hitam manis, bulu mata lentik, hidung mancung, merupakan penampakan yang akrab kita jumpai pada gadis-gadis kampung di teluk Patipi Distrik Rumbati Kabupaten Fak Fak tempat ia dilahirkan. Ketika kami bercerita tentang Wandaruni diatas kereta ia nyeletuk” bapa..kalau saya ini tra diragukan lagi to..” sambil tertawa lepas, yang dapat dimaknai sebagai sebuah penegas bahwa ia adalah merupakan orang asli papua yang tak perlu ditanyakan lagi.                      

Cerita Moderasi “Dari PKI Hingga Pitutur Tilu”

“Bapa…demam panggung saya..disuruh perkenalkan diri pake Bahasa daerah, tapi demam panggung…sangat sedih karena tidak memberikan yang terbaik” tulis Fifin iba pada kotak pesan grup WhatsApp yang kami bentuk untuk memudahkan koordinasi selama pelaksanaan KKN moderasi. Pesan dari fifin itu kemudian langsung ditimpali oleh Wandaruni; keren kok keren, pas fifin maju perwakilan dari Papua, hampir semua dalam ruangan bersorak memberi semangat dan dukungan” menjadi komunikasi pertama yang terjadi sebagai bentuk laporan apa yang sudah mulai Wandaruni dan Fifin telah lakukan di hari kedua mengikuti KKN moderasi di kecamatan Cigugur.

Muhibah moderasi yang dilakukan oleh Fifin dan Wandaruni jika dicermati sebenarnya hanyalah sebuah napak tilas pembanding dari apa yang telah mereka jalani sehari hari. Fifin misalnya, dimarga besar “Iba” dibelakang namanya itu dijumpai fakta bahwa telah berbilang tahun perbedaan keyakinan dalam satu marga bukanlah satu penghalang untuk menyatu dalam ikatan kekerabatan yang berdiri diatas filosofi atanamisia (mengkonfirmasi), aroamisia (Bijaksana), faneka misia (Toleran) dan awkawai fafia (Jujur) yang kemudian dipatronase menjadi satu tungku tiga batu sebagai filosofi Pembangunan kabupaten fak-fak, realitas ini juga memampukan Masyarakat untuk dapat hidup berdampingan dalam ideologi PKI (Protestan Katolik Islam). Demikian pula dengan Wandaruni Iha, yang lahir dari persilangan budaya dan agama, ayahnya adalah turunan Maluku-Papua yang beragama Nasrani dan kemudian memeluk Islam, sementara ibunya yang mewarisinya kulit yang terang adalah turunan Jawa tulen telah menjadikannya satu contoh betapa indahnya hidup dan berasal dari perbedaan, jika ia dapat dikelola dengan baik, pasti akan melahirkan kecantikan alami yang lahir dari alam bawah sadar, tanpa polesan dan juga pencitraan. Karena sejatinya moderasi itu harusnya berasal dari alam bawah sadar bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikelola sebagai penguat identitas kebangsaan.

Keberadaan Wandaruni dan Fifin di kecamatan Cigugur kabupaten Kuningan Jawa Barat makin mengokohkan apa yang menjadi salah satu filosofi pembentukan bangsa Indonesia yaitu “Bhineka” yang bermakna perbedaan, kemudian dihimpun dalam satu ikatan persamaan nasib, persamaan keinginan, membentuk satu harmoni keragaman etnis, keyakinan, karakter, hingga ciri fisik manusianya. Seperti juga harmoni dalam kehidupan masyarakat Cigugur yang mau dan mampu menerima perbedaan sebagai satu kekayaan yang dapat melahirkan Kebajikan dalam bertutur dan bersikap, seperti filosofi hidup yang terkandung dalam pitutur tilu; silih asah, silih asih dan silih asuh yang mencerminkan adanya nilai saling membantu, perasaan yang sama, serta solidaritas yang kuat dalam kehidupan sehari hari antar warga telah menumbuhkan harmonisasi hubungan sesama manusia, manusia dengan alam, juga manusia dengan penciptanya, sekaligus menjadi pantulan dari apa yang terkandung dalam QS AlHujurat ayat 13, tentang alasansesungguhnya dari perbedaan penciptaan manusia, yang tidak lain adalah untuk saling kenal dan belajar menerima perbedaan yang ada, karena memang begitulah ketentuan sang pencipta.

IAIN Papua dan Kisah Para Penghibur

Gambaran tentang moderasi yang tertera pada uraian diatas, sebenarnya tidak berbeda dari realitas PTKAIN yang ada di indonesia yang ternyata memang berwarna, serta memiliki Sejarah, karakter, keunggulan, tantangan, hambatan dan juga masalah yang beragam, yang seharusnya dapat menjadi inspirasi bahwa penyeragaman, sekaligus pemerataan itu sesuatu yang sangat memaksa yang dapat berpotensi merusak. Karena jika dipaksa, Alih-alih PTKAIN itu akan bermutu, justru jangan- jangan ia akan bermusuh dan berpotensi melemahkan, karena semua terpaksa matang sebelum waktunya. Akibatnya, Tindakan manipulative selalu menjadi jalan alternative tercepat yang dibiasakan serta dianggap benar dan wajar, untuk memenuhi syarat dari pemerataan itu. Meskipun demikian, masalah lain yang lebih pelik dari sekedar pemaksaan dan pemerataan ini adalah adanya fenomena batu loncatan atau numpang lewat yang terjadi di PTKAIN, dengan sangat jelas merontokan dengan sistematis pilar kekokohan sebuah perguruan tinggi.

Di IAIN Papua, Fenomena batu loncatan dan numpang lewat ini bukanlah isapan jempol atau pepesan kosong belaka, sejak diresmikan oleh Menteri Agama pada bulan oktober tahun 2005 hingga saat ini 2024, tercatat sedikitnya 2 dosen dengan gelar Magister dan 8 Dosen dengan gelar Doktor dibidang keagamaan telah pulang kampung, dan konon katanya akan menyusul eksodus Doctor lainnya, karena usulannya sudah sampai dikampung masing masing, meninggalkan IAIN Papua yang katanya ladang fisabilillah itu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka yang pulang kampung itu adalah mereka yang telah diberi kesempatan untuk memperoleh Pendidikan lebih tinggi yang diantara mereka itu dibiayai dengan anggaran milik IAIN Papua, namun setelah disekolahkan hingga jenjang tertinggi, diberi kesempatan lebih untuk menduduki posisi posisi strategis dikampus maupun di masyarakat, mereka kemudian pulang kampung dengan beribu alasan, dan akhirnya lahir satu kesimpulan premature, bahwa ternyata mereka itu semua sejak semula hanyalah menjadikan IAIN Papua itu batu loncatan dan numpang lewat saja di Papua demi posisi yang lain didaerah asalnya. Eksodus para dosen ini kemudian secara langsung melahirkan tanda tanya besar, apakah UIN Surabaya, UIN Tulung Agung, UIN Malang, IAIN Kediri, UIN Ponorogo, yang menjadi sasaran kepulangan para dosen itu, begitu kekurangankah dengan ahli agama? sehingga harus melucuti sumber daya saudara mudanya (itupun kalau dianggap saudara) yang merupakan penjaga pintu depan bangsa Indonesia ini?

Jika harus di tulis secara sarkas, maka apa yang dialami oleh IAIN Papua ini sebenarnya, ibarat para penghibur syahwat yang hanya dibutuhkan untuk pemenuhan Hasrat sesaat, kemudian ia ditinggalkan, untuk tetap dipandang sebagai penghibur yang keberadaannya hanyalah sebagai tempat pelampiasan. Tengoklah sesaat apa yang dialaminya saat ini, sepi peminat, kehilangan sumberdaya Dosen Ahli, kekurangan energi (BOPTN yang rendah), namun dalam berbagai perspektif, ia disetarakan dengan para raksasa perguruan tinggi keagamaan yang ada, padahal secara jujur harus diakui bahwa IAIN Papua itu ibarat bayi yang sedang mengalami Stunting saat ini. Lihat saja dalam proses akreditasi institusi maupun fakultas atau prodi misalnya, semua asesor pasti mahfum, bahwa sesungguhnya IAIN papua itu belum cukup pantas mendapat akreditasi yang tercantum pada lembaran kertas yang dituliskan itu, namun untuk maslahah, maka predikat “baik sekali” itu harus diberikan.

Lantas apa hubungan antara IAIN Papua dan kisah para penghibur dengan KKN moderasi yang ada di Cigugur saat ini? Bukankah uraian tentang kondisi IAIN papua tak memiliki korelasi langsung dengan moderasi beragama? Ya.. secara langsung konektifitas itu tidak tampak, namun apa yang dialami oleh IAIN Papua saat ini adalah contoh yang baik untuk mengelola moderasi di Indonesia, penyeragaman terhadap paham moderasi itu memiliki potensi untuk melucuti aneka warna kehidupan masyarakat Indonesia yang memang memiliki Sejarah, filosofi, karakter, geografi dan kebudayaan berbeda. Seharusnya, setiap daerah harus dipandang dan diberdayakan sesuai dengan keunggulan kompetitif yang dimilikinya tanpa harus takut dan minder akibat harus bersaing dengan para babon PTKAIN, karena ia memiliki satu keunggulan kompetitif yang dapat memperkuat kemajemukan bangsa Indonesia. Itu bermakna bahwa PTKAIN dan moderasi itu ibarat satu koin dengan dua sisi yang tak terpisahkan, keberhasilan mengelola PTKAI dan keragaman didalamnya harus paralel dengan keberhasilan dalam mengelola perbedaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dan KKN Moderasi merupakan satu jalan diantara banyak jalan yang dapat ditempuh untuk mewujudkan semanat moderasi itu sendiri.

Catatan Penutup

Jayapura-Jakarta-Cirebon-Kuningan, merupakan jalan melingkar panjang yang harus ditempuh oleh dua mahasiswi IAIN papua, untuk menyelami luasnya keragaman bangsa Indonesia, lewat perjumpaan dengan kebudayaan lain di kecamatan Cigugur, tak ada hal Istimewa yang mereka bawa dan dapat tunjukan kepada khalayak, tak ada juga prestasi mentereng yang mereka berdua dapat pamerkan, juga tak ada keahlian khusus yang dapat ditularkan agar mereka memiliki sedikit nama. Fifin iba dan Wandaruni Iha hanya membawa diri mereka apa adanya, merupakan potret hidup anak-anak Papua, yang lahir dari kesederhanaan, tetapi sejatinya perbedaan merupakan bangunan kehidupan yang telah disemaikan dalam diri sejak dari buaian, hingga keliang lahat, anak-anak Papua mungkin berbeda dan memang berbeda, anak-anak Papua memang kurang dan serba kekurangan, anak- anak Papua juga mungkin lemah dan sangat lemah, namun anak-anak Papua memiliki kebudayaan yang telah menjaga mereka untuk tetap rukun dan damai, dengan meletakan adat dan keluarga, diatas semua kepentingan golongan maupun agama, sebab keluarga adalah segala galanya, sebagaimana kami menganggap PTKAIN lain di indonesia sebagai keluarga kami dan Kementerian Agama sebagai orang tua kandung, semoga, kami tidak dilupakan dan terus dilemahkan.

Kaki Gunung Ciremai,

Argo Cheribon 24, Ekonomi 3, 2A, 2B dan 2D

Juli Pertengahan 2024.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *