Sosial Budaya

KOTAM

Belajar dari Kearifan Masyarakat Teluk Berau

Oleh

Tim KKN Nusantara 2022 Kampung Ugar

(Kiran, Ana, Hardi, Fadli, Hijrah, Anti, Indah, Miftah, Kurnia, Fitri, Syafitri, Dhea, Ridan, dan Rivaldy)

Sabtu, 30 Juli 2022,  Matahari belum lagi menampakkan wujudnya diufuk timur, mama Biaruma telah mondar-mandir sepanjang ruang tengah hingga dapur meneriaki kami yang  kebanyakan masih terlelap karena semalam  suntuk direcoki Dosen Pembimbing Lapangan dengan program kerja kami yang ternyata menurut beliau hanya direncanakan secara parsial, tidak cukup menyatu dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menyangkut apa yang diinginkan oleh peserta KKN. Selain itu setelah beliau  3  hari  membersamai  kami,  beliau dengan sangat tegas memerintahkan untuk  menyelesaikan beberapa tulisan individu yang akan di bawa pulang ke Jayapura sebagai salah satu tugas yang harus kami kerjakan.

Dr Ade Yamin, MA

Meskipun tulisan yang kami kumpulkan terkesan ala kadarnya, Alhamdulillah seluruh peserta telah menyerahkan hasil sistem kerja kebut semalam kepada DPL dan sedang menuju Kokas, selanjutnya Fak-Fak, Sorong dan Jayapura.

Kembali pada aktivitas di sabtu subuh kemarin, dengan tergopoh-gopoh Kiran dan Ana menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh muka dan menghilangkan bekas iler disudut bibir sisa lelap semalam, ocehan mama Biaruma tidak berakhir, karena gerakan yang dipertontonkan oleh Kiran dan Ana dikamar mandi bagaikan gerakan kukang yang menyebrang jalan, hingga membuat pelintas akan geregetan.Kekhawatiran mama Biaruma tentu sangat beralasan, sebab hari itu kami akan mengunjungi salah satu pasar fenomenal di Distrik Kokas yang ada di kampung Mambuni buni, berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Kampung Ugar menggunakan perahu (Rai) fiber yang dimodali dengan 2 mesin motor pengerak merk jhonson dengan kekuatan 15 PK. Keterlambatan gerakan Ana dan Kiran berpotensi akan membuat kami tidak akan mendapatkan tempat  untuk  menambatkan perahu dibelakang pasar yang merupakan lokasi strategis yang disasar  semua   warga   yang mengunjungi pasaruntuk menambatkan perahunya.

“Itu sebentar kalau kita terlambat, nanti kita harus lewat perahu perahu untuk naik kadara” gerutu mama Biaruma. Tergopoh-gopoh Kiran, Hardi dan Ana berjalan menuju perahu yang ditambatkan di depan Kampung diarea pohon beringin tua dimana makam keramat leluhur masyarakat Ugar disemayamkan, menaiki perahu dengan susah payah, bapak Bairuma kemudian menghidupkan mesin perahu dan mengantarkan kami menuju Kampung Mambuni buni, membelah Teluk Berau yang merupakan salah satu area  konservasi laut yang dilindungi oleh  negara. Membelah keheningan pagi di Teluk Berau, ternyata terjawab sudah keheranan dan pertanyaan dibenak kami dimalam sebelumnya tentang mengapa harus berperahu disubuh hari dan bergerak sebelum matahari terbit, itu didorong oleh keadaan alam, dimana ketika matahari telah menampakan wujudnya, maka arus laut di Teluk Berau agak sedikit bergolak, dan tentu akan sedikit mengkhawatirkan bagi kami yang tidak pernah hidup di pinggir pantai.

               Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 60 menit, melewati Kokas, Pulau Batipiavat, kami pun perlahan sampai dimuara sungai Mambuni buni, tempat dimana pasar tradisional tersebut berada. Kekhawatiran mama Biaruma benar terbukti, kami tidak dapat menambatkan perahu diarea belakang pasar, karena dermaga telah dijejali oleh puluhan perahu yang berasal dari berbagai kampung yang terlibat dalam aktivitas kegiatan tukar menukar dipasar Mambuni buni, dengan sangat terpaksa, kami kemudian berputar arah dan mencari lokasi yang sedikit jauh agar dapat menambatkan perahu, dan tetap saja kami harus melewati titian perahu lain agar dapat mencapai daratan, sebuah perjuangan luar biasa tentunya bagi kami yang tidak terbiasa dengan keadaan seperti itu.

               Memasuki area pasar kami disambut oleh penampakan khas masyarakat Teluk Berau, para  perempuan rata-rata menggunakan busana sederhana berupa sarung yang dililitkan di pinggang yang dipadukan dengan baju kaos oblong, sambil mengendong tomang, suatu tas khas masyarakat local yang terbuat dari rajutan daun pandan hutan,  yang ukurannya setara dengan sebuah ember penampungan air yang dijual seharga 50 ribu rupiah di pasar Kokas, tak beralas kaki pun dengan para lelaki umumnya hanya mengenakan celana pendek atau panjang usang, yang dipadukan dengan kaos oblong. Namun, pandangan mata kita akan dimanjakan dengan gerakan bibir setiap orang, baik itu lelaki maupun perempuan yang seakan tak henti mengunyah pinang sirih, melumerkannya dalam mulut dan kemudian disemburkan kesembarang arah, sepanjang tidak mengenai orang disekitanya bukanlah persoalan serius.

Melanjutkan perjalanan menembus keriuhan manusia yang berasal dari kampung didarat dan dilaut kita akan menyaksikan dua komoditas utama dijajakan sepanjang area pasar, yaitu hasil alam yang berasal dari laut dan darat. Warga yang bermukim dipesisir pantai umumnya menjajakan ikan, asap, kerang, kepiting dan beberapa biota laut lainnya, serta pandoko, yaitu pucuk nibun muda yang berfungsi sebagai kertas pembungkus rokok tradisional masyarakat Teluk Berau. sementara itu, masyarakat yang berasal  dari  perkampungan  di pegunungan menghamparkan pisang, ubi jalar, pepaya, keladi, pinang, sirih serta beberapa hasil pertanian lainya. Keriuhan pasar pagi itu cukup unik, karena meskipun suasana pasar telah terasa dan ramai, aktivitas jual beli ternyata belum berjalan secara wajar. Dapat kita saksikan hampir tidak ada transaksi yang benar-benar terjadi, selain sekedar bertanya mengenai harga setiap komiditi yang dijajakan oleh setiap  orang.         

Suasana  bertanya  mengenai  harga  komoditi  ini  ternyata merupakan satu mekanisme awal dari terjadinya proses Kotam (barter) antara para pedagang yang berasal kampung pesisir pantai dan kampung yang mendiami dataran tinggi. Aktivitas menanyakan harga yang dilakukan oleh masyarakat ini ternyata hanyalah sebuah penjajakan kelayakan dan taksiran atas barang bawaan masing masing               yang hendak dipertukarkan. Meskipun tidak tertutup   kemungkinan ada satu dua warga yang tetap membayar dengan mata uang umum, namun hampir keseluruhan proses perdagangan di pasar sabtu itu adalah pertukaran hasil pertanian masyarakat dipegunungan dengan hasil tangkapan nelayan yang hidup dikampung kampung pesisir laut.

Yang luar biasa dari proses pertukaran ini adalah rasa solidaritas, persaudaraan dan keikhlasan nampak terpancar dari wajah mereka yang saling memberi dan menerima. Sesisir pisang ditukar dengan seikat ikan asap yang  gurih,  sebagai  perekat  persaudaraan  antara  mereka  yang  hidup didataran tinggi dengan mereka yang hidup dipesisir pantai, suatu nilai yang makin jarang kita temukan dalam kehidupan modern yang lebih mengutamakan persaingan dan perseteruan, karena nilai kehidupan telah diletakan pada pilihan pilihan individu, bukan pada pilihan komunitas. Pasar Mambuni buni menyadarkan kami peserta KKN Kampung Ugar, berbeda tidak berarti kita tidak setara. Berbeda tidak berarti kita harus berselisih. Masyarakat Teluk Berau dengan sangat tegas mengajarkan kepada kami perbedaan itu tidak akan terasa jika kita bisa disatukan oleh rasa persaudaraan.

Ketika pasar perlahan sepi, karena ikan asap telah berpindah ke tomang masyarakat yang hidup di pegunungan. Pisang, keladi pinang dan sirih telah menumpuk di dalam perahu masyarakat kampung yang hidup di pesisir laut, kami pun perlahan meninggalkan pasar bersama mama dan bapa Biaruma, di kejauhan nampak Masjid Patimburak yang legendaris, ingatan dan imajinasi kami tidak akan pernah melupakan peristiwa pagi kemarin, terimakasih pasar Mambuni buni, terimakasih masyarakat Teluk Berau dan Mbaham mata, ternyata kami belum cukup memahami arti saudara, mama dan bapa dorang telah meberi kami modal hidup dari peristiwa Kotam (pertukaran) yang baru saja kami saksikan. (Ade Yamin)

Teluk Berau, di akhir Juli 2022

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *